OKA Art News

News Detail

ISU EKOLOGI DALAM REFLEKSI KULTURAL BALI

Isu Ekologi Dalam Refleksi Kultural Bali

*)Dwi S. Wibowo

Praktik kesenian yang berbasis pada isu ekologi memang kerap kali tidak cukup hanya dengan presentasi di ruang galeri, lewat karya-karya dua dimensi konvensional pula. Pola semacam ini ternyata juga perlu didukung dengan aksinyata untuk terlibat langsung dengan problematika sosial yang berlangsung di tengah masyarakat. Sehingga seniman juga dituntut untuk turba (turun kebawah) dan melihat langsung isu aktual yang terjadi, dan kalau mampu juga member solusi dengan metode seni yang dikuasainya. Cara ini tentusaja ditempuh agar karya seni yang tercipta tidak hanya terjebak pada anggapan klise mengenai konsep pelestarian alam, tanpa mengetahui detail persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Karya seni juga harus secara konkrit membicarakan realitas yang ada di masyarakat.
Cara pandang semacam ini ternyata juga mengusik Oka Astawa, seorang perupa muda lulusan ISI Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, Ia memutuskan untuk kembali tinggal di kampong halamannya di desa Pangkung Tibah, Tabanan. Dalam kurun tujuh tahun, selama masa tinggalnya di Yogyakarta, ternyata banyak hal berubah di kampong halamannya yang hanya berjarak selemparan batu dari objek wisata Tanah Lot. Desanya menjadi salah satu area yang terkena imbas proyek pemekaran destinasi wisata di sisi selatan pulau Bali. Baginya, yang dibesarkan dalam kultur agraris, hal ini menjadi ancaman serius.
Ada banyak dampak dari persoalan tersebut, seperti misalnya yang Ia ceritakan bahwa telah terjadi perubahan cara berpikir yang drastic dari para pemuda seumurannya. “Mereka tidak lagi melihat sawah sebagai basis produksi ekonominya, tetapi justru berhasrat menjadi pekerja di industri wisata, meskipun di kelas bawah,” ungkap perupa kelahiran tahun 1989 tersebut. Oka sendiri tidaklah anti dengan industry pariwisata yang kini menyergap desanya, baginya itu menjadi realitas yang mustahil dihindari. Apalagi pengembangan pariwisata secara masif di Bali telah berlangsung sekian puluh tahun.
Selama masih tinggal di Yogyakarta, Oka cukup banyak bekerja dengan memanfaatkan jejaring komunitas yang dikenalnya, terutama untuk mendekatkan praktik keseniannya dengan masyarakat. Sehingga proses kreatifnya memang tidak hanya terjebak pada ruang studionya saja, meskipun sampai hari ini, Ia masih menekuni seni lukis sebagai media kekaryaan utamanya. Ibarat berpijak di dua kaki, Ia tetap mempertahankan kodratnya sebagai perupa di ruang studio, di lain sisi, hasrat ekspresinya ternyata berkait dengan problematika sosial yang ada di sekelilingnya. Sehingga, ketika memutuskan untuk kembali ke Bali, metode itu berusaha diterapkan olehnya dengan berbagai penyesuaian.
Kali ini, hasil kerja seninya dapat dilihat melalui pameran tunggalnya yang mengangkat tema “Palemahan” di Galeri Griya Santrian, pada 17 Maret hingga 12 Mei mendatang. Dalam pameran ini, Oka mencoba menghadirkan gagasan tentang filosofi Bali yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam. Palemahan dalam pemahaman masyarakat Bali bermakna tentang konsep hidup yang berhubungan dengan alam sebagai ruang lingkupnya. Ide untuk kembali menggunakan filosofi lokal ini, tentu saja berhubungan dengan pesan yang akan disampaikan dan masyarakat yang ditujunya. Dalam pameran ini, Ia menghadirkan sekitar dua puluh karya lukis terbarunya, yang semuanya coba memvisualisasikan persoalan-persoalan yang menjadi amatan Oka selama ini.
Akan tetapi, pameran ini tidak berdiri sendiri sebagai proses kesenian Oka Astawa. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa Ia tidak bekerja dengan metode konvensional saja, tetapi mencoba menghubungkannya dengan realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Bukan saja dalam hal tematik saja, melainkan pada metode kerjanya. Sebelum melangsungkan pameran ini, Ia lebih dulu melakukan proyek kolaborasinya dengan komunitas maupun sesame seniman yang memiliki konsentrasi terhadap isu ekologis. Seperti dalam proyek “Ke(m)Bali Hijau” tahun 2014, Oka berkolaborasi dengan Wayan Sudarna Putra, seniman yang sama-sama bermukim di Tabanan dan juga lulusan ISI Yogyakarta. Mereka melakukan kolaborasi dengan melakukan penanaman pohon dan pemasangan instalasi berupa patung berbahan dasar bambu di sejumlah lokasi.
Selain itu, Oka juga menyasar generasi muda sebagai sasaran dari kampanye ekologisnya. Dengan cara masuk ketren budaya popular yang berkembang di kalangan anak muda Bali saat ini, salah satunya dengan tren distro dan kaos indie (clothing). Dengan label “Ecoko Green Project”, Ia berusaha masuk kedimensi sosial anak muda kekinian, sekaligus menyisipkan pesan-pesan dari kampanye ekologisnya. Selain membuat label, Oka juga mendesain setiap gambar yang tertera pada kaos produksinya. Proyek ini dimulai tahun 2015, dan masih berlanjut hingga sekarang. Menurut penuturannya, metode ini cukup efektif untuk menyebar luaskan pesannya. “Dengan kaos, pesan itu akan tersebar sejauh orang yang memakainya pergi,” katanya. Selain itu, model kerja seperti ini ternyata juga memberinya kemudahan untuk membiayai proyek-proyek keseniannya yang lain.
Kembali kepameran tunggalnya, “Palemahan”, Oka menghadirkan gagasannya melalui refleksi cultural secara personal. Secara pribadi Ia merasa sebagai bagian dari satu ikatan cultural sebagai masyarakat Bali yang hidup dalam konvensi-konvensi tradisionalnya, karena itulah melihat ironi yang terjadi di sekelilingnya, membuat kegelisahannya terpantik. Terutama yang berhubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar desanya seperti alih fungsi lahan pertanian, perubahan cara piker dan orientasi masyarakat, juga tatanan ekosistem yang kerap diabaikan ketika terjadi pembangunan di area tersebut.
Tema-tema itulah yang mengisi sekitar dua puluh bidang kanvasnya dalam pameran ini. Seperti terlihat dalam salah satu karyanya yang berjudul “Dilema”, Ia menggambarkan figure secara abstrak, di lengan kirinya terlihat gambaran pulau Bali, sedangkan di tangan kanannya tergambar logo dolar. Lukisan ini tentusaja mewakili dilema yang dihadapi masyarakat Bali secara umum, menyelamatkan pulau ini beserta kekayakan budaya dan alamnya, atau menghamba pada investasi dengan nilai ekonomi yang amat tinggi.
Secara umum, karya-karya Oka Astawa memang berkutat dengan isu ekologis, terutama dalam kaitannya dengan ironi yang muncul di Bali akibat pengembangan industry pariwisata yang terkesan dipaksakan. Sehingga persoalan ekologis yang muncul, bukan semata-mata terjadi akibat degradasi mental masyarakat secara alamiah, namun dipicu oleh banyak faktor yang mengubahnya. Di usianya yang masih relative muda, Oka terus melakukan eksplorasi dalam berkesenian, tidak hanya pencarian estetik atas karya seninya, tetapi juga metode kerja dalam berkesenian. Semua itu dipicu sebuah pertanyaan tentang posisi seniman di tengah masyarakat yang terus berubah ini.